Minggu, 06 Januari 2019

4. Hati 
Hati (bahasa Yunaniἡπαρ, hēpar) merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa senyawa yang bersifat racun dan menghasilkan amoniaurea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.
Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-parenkimal.[2] Sel parenkimal pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar 80% volume hati dan melakukan berbagai fungsi utama hati. Sebanyak 40% sel hati terdapat pada lobus sinusoidal. Hepatosit merupakan sel endodermal yang terstimulasi oleh jaringan mesenkimal secara terus-menerus pada saat embrio hingga berkembang menjadi sel parenkimal.[3] Selama masa tersebut, terjadi peningkatan transkripsi mRNA albumin sebagai stimulan proliferasi dan diferensiasi sel endodermal menjadi hepatosit.[4]
Lumen lobus terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti sel Kupffersel Itolimfosit intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal menempati sekitar 6,5% volume hati dan memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan banyak fungsi hepatosit.
Filtrasi merupakan salah satu fungsi lumen lobus sinusoidal yang memisahkan permukaan hepatosit dari darahSEC memiliki kapasitas endositosis yang sangat besar dengan berbagai ligan seperti glikoproteinkompleks imuntransferin dan seruloplasmin. SEC juga berfungsi sebagai sel presenter antigen yang menyediakan ekspresi MHC I dan MHC II bagi sel TSekresi yang terjadi meliputi berbagai sitokinaeikosanoid seperti prostanoid dan leukotrienaendotelin-1nitrogen monoksida dan beberapa komponen ECM.
Sel Ito berada pada jaringan perisinusoidal, merupakan sel dengan banyak vesikel lemak di dalam sitoplasma yang mengikat SEC sangat kuat hingga memberikan lapisan ganda pada lumen lobus sinusoidal. Saat hati berada pada kondisi normal, sel Ito menyimpan vitamin A guna mengendalikan kelenturan matriks ekstraselular yang dibentuk dengan SEC, yang juga merupakan kelenturan dari lumen sinusoid.
Sel Kupffer berada pada jaringan intrasinusoidal, merupakan makrofaga dengan kemampuan endositik dan fagositik yang mencengangkan. Sel Kupffer sehari-hari berinteraksi dengan material yang berasal saluran pencernaan yang mengandung larutan bakterial, dan mencegah aktivasi efek toksin senyawa tersebut ke dalam hati. Paparan larutan bakterial yang tinggi, terutama paparan LPS, membuat sel Kupffer melakukan sekresi berbagai sitokina yang memicu proses peradangan dan dapat mengakibatkan cedera pada hati. Sekresi antara lain meliputi spesi oksigen reaktifeikosanoidnitrogen monoksidakarbon monoksidaTNF-αIL-10, sebagai respon sistem imun bawaan dalam fase infeksi primer.
Sel pit merupakan limfosit dengan granula besar, seperti sel NK yang bermukim di hati. Sel pit dapat menginduksi kematian seketika pada sel tumor tanpa bergantung pada ekspresi antigen pada kompleks histokompatibilitas utama. Aktivitas sel pit dapat ditingkatkan dengan stimulasi interferon-γ.
Selain itu, pada hati masih terdapat sel T-γδ, sel T-αβ dan sel NKT.

Sel punca[sunting | sunting sumber]

Selain hepatosit dan sel non-parenkimal, pada hati masih terdapat jenis sel lain yaitu sel intra-hepatik yang sering disebut sel oval,[5] dan hepatosit duktular.[6] Regenerasi hati setelah hepatektomi parsial, umumnya tidak melibatkan sel progenitor intra-hepatik dan sel punca ekstra-hepatik (hemopoietik), dan bergantung hanya kepada proliferasi hepatosit. Namun dalam kondisi saat proliferasi hepatosit terhambat atau tertunda, sel oval yang berada di area periportal akan mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi hepatosit dewasa.[5][7] Sel oval merupakan bentuk diferensiasi dari sel progenitor yang berada pada area portal dan periportal, atau kanal Hering,[8] dan hanya ditemukan saat hati mengalami cedera.[9] Proliferasi yang terjadi pada sel oval akan membentuk saluran ekskresi yang menghubungkan area parenkima tempat terjadinya kerusakan hati dengan saluran empeduEpimorfin, sebuah morfogen yang banyak ditemukan berperan pada banyak organ epitelial, tampaknya juga berperan pada pembentukan saluran empedu oleh sel punca hepatik.[10] Setelah itu sel oval akan terdiferensiasi menjadi hepatosit duktular. Hepatosit duktular dianggap merupakan sel transisi yang terkait antara lain dengan:[11]
tergantung pada jenis gangguan yang menyerang hati.
Pada model tikus dengan 70% hepatektomi, dan induksi regenerasi hepatik dengan asetilaminofluorena-2, ditemukan bahwa sel punca yang berasal dari sumsum tulang belakang dapat terdiferensiasi menjadi hepatosit,[12][13] dengan mediasi hormon G-CSF sebagai kemokina dan mitogen.[14] Regenerasi juga dapat dipicu dengan D-galaktosamina.[15]

Sel imunologis[sunting | sunting sumber]

Hati juga berperan dalam sistem kekebalan dengan banyaknya sel imunologis pada sistem retikuendotelial yang berfungsi sebagai tapis antigen yang terbawa ke hati melalui sistem portal hati. Perpindahan fase infeksidari fase primer menjadi fase akut, ditandai oleh hati dengan menurunkan sekresi albumin dan menaikkan sekresi fibrinogen. Fasa akut yang berkepanjangan akan berakibat pada simtoma hipoalbuminemia dan hiperfibrinogenemia.[16]
Pada saat hati cedera, sel darah putih akan distimulasi untuk bermigrasi menuju hati dan bersama dengan sel Kupffer mensekresi sitokina yang membuat modulasi perilaku sel Ito.[17] Sel TH1 memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan seluler seperti IFN-gammaTNF, dan IL-2. Sel TH2 sebaliknnya akan memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan humoral seperti IL-4IL-5IL-6IL-13 dan meningkatkan respon fibrosis. Sitokina yang disekresi oleh sel TH1 akan menghambat diferensiasi sel T menjadi sel TH2, sebaliknya sitokina sekresi TH2 akan menghambat proliferasi sel TH1. Oleh sebab itu respon kekebalan sering dikatakan terpolarisasi ke respon kekebalan seluler atau humoral, namun belum pernah keduanya.

Fungsi hati[sunting | sunting sumber]

Berbagai jenis tugas yang dijalankan oleh hati, dilakukan oleh hepatosit. Hingga saat ini belum ditemukan organ lain atau organ buatan atau peralatan yang mampu menggantikan semua fungsi hati. Beberapa fungsi hati dapat digantikan dengan proses dialisis hati, namun teknologi ini masih terus dikembangkan untuk perawatan penderita gagal hati.
Sebagai kelenjar, hati menghasilkan:
Selain melakukan proses glikolisis dan siklus asam sitrat seperti sel pada umumnya, hati juga berperan dalam metabolisme karbohidrat yang lain:
dan pada lintasan katabolisme:
Hati juga mencadangkan beberapa substansi, selain glikogen:

Regenerasi sel hati[sunting | sunting sumber]

Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi merupakan suatu proses yang sangat penting agar hati dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan dari proses detoksifikasi dan imunologis. Regenerasi tercapai dengan interaksi yang sangat kompleks antara sel yang terdapat dalam hati, antara lain hepatositsel Kupffersel endotelial sinusoidalsel Ito dan sel punca; dengan organ ekstra-hepatik, seperti kelenjar tiroidkelenjar adrenalpankreasduodenumhipotalamus.[21]
Hepatosit, adalah sel yang sangat unik. Potensi hepatosit untuk melakukan proliferasi, muncul pada saat-saat terjadi kehilangan massa sel,[22] yang disebut fase prima atau fase kompetensi replikatif[23] yang umumnya dipicu oleh sel Kupffer melalui sekresi sitokina IL-6 dan TNF-α. Pada fase ini, hepatosit memasuki siklus sel dari fase G0 ke fase G1.
TNF-α dapat memberikan efek proliferatif atau apoptotik, bergantung pada spesi oksigen reaktif dan glutathion, minimal 4 faktor transkripsi diaktivasi sebelum hepatosit masuk ke dalam fase proliferasi, yaitu NF-κBSTAT-3AP-1 dan C/EBP-beta.[24]
Proliferasi hepatosit diinduksi oleh stimulasi sitokina HGF dan TGF-α, dan EGF[24] dengan dua lintasan. HGF, TGF-α, dan EGF merupakan faktor pertumbuhan yang berasal dari substrat serina dan protein logam[25]yang menginduksi sintesis DNA.[23] Lintasan pertama adalah lintasan IL-6/STAT-3 yang berperan dalam siklus sel melalui siklin D1/p21 dan perlindungan sel dengan peningkatan rasio FLIP, Bcl-2, Bcl-xL, Ref1, dan MnSOD. Lintasan kedua adalah lintasan PI3-K/PDK-1/Akt yang mengendalikan ukuran sel melalui molekul mTOR, selain sebagai zat anti-apoptosis dan antioksidan.
Hormon tri-iodotironina, selain menurunkan kadar kolesterol pada hati,[26] juga memiliki kapasitas dalam proliferasi hepatosit sebagai mitogen yang berperan pada siklin D1,[27] mempercepat konsumsi O2 oleh mitokondria dengan mengaktivasi transkripsi pada gen pernafasen hingga meningkatkan produksi spesi oksigen reaktif.[28] Sekresi ROS ke dalam sitoplasma hepatosit akan mengaktivasi faktor transkripsi NF-κB.[29]Pada sel KupfferROS dalam sitoplasma, akan mengaktivasi sekresi sitokina TNF-αIL-6 dan IL-1 untuk disekresi. Ikatan yang terjadi antara ketiga sitokina ini dengan hepatosit akan menginduksi ekspresi pencerap enzim antioksidan, seperti mangan superoksida dismutasei-nitrogen monoksida sintaseprotein anti-apoptosis Bcl-2, haptoglobin dan fibrinogen-β yang diperlukan hepatosit dalam proliferasi.[30] Stres oksidatif yang dapat ditimbulkan oleh ROS maupun kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai sitokina, dapat dilenyapkan dengan asupan tosoferol (100 mg/kg) atau senyawa penghambat gadolinium klorida (10 mg/kg) seperti yang dimiliki oleh sel Kupffer, sebelum stimulasi hormon tri-iodotironina,[31] sedangkan laju proliferasi hepatosit dikendalikan oleh kadar etanolamina sebagai faktor hepatotrofik humoral.[32]
Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi telah diketahui semenjak zaman Yunani kuno dari cerita mitos tentang seorang titan yang bernama Prometheus.[33] Kemampuan ini dapat sirna, hingga hepatosit tidak dapat masuk ke dalam siklus sel, walaupun kehilangan sebagian massanya, apabila terjadi fibrosis hati. Lintasan fibrosis yang tidak segera mendapat perawatan, lambat laun akan berkembang menjadi sirosis hati[34]dan mengharuskan penderitanya untuk menjalani transplantasi hati atau hepatektomi demi kelangsungan hidupnya.
Regenerasi hati setelah hepatektomi parsial merupakan proses yang sangat rumit di bawah pengaruh perubahan hemodinamikamodulasi sitokina, hormon faktor pertumbuhan dan aktivasi faktor transkripsi, yang mengarah pada proses mitosis. Hormon PRL yang disekresi oleh kelenjar hipofisis menginduksi respon hepatotrofik sebagai mitogen yang berperan dalam proses proliferasi dan diferensiasi.[35] PRL memberi pengaruh kepada peningkatan aktivitas faktor transkripsi yang berperan dalam proliferasi sel, seperti AP-1c-Jun dan STAT-3; dan diferensiasi dan terpeliharanya metabolisme, seperti C/EBP-alfa, HNF-1, HNF-4 dan HNF-3. c-Jun merupakan salah satu protein penyusun AP-1.[36] Induksi NF-κB pada fase ini diperlukan untuk mencegah apoptosis dan memicu derap siklus sel yang wajar.[37] Pada masa ini, peran retinil asetat menjadi sangat vital, karena fungsinya yang menambah massa DNA dan protein yang dikandungnya.[38]

Penyakit pada hati[sunting | sunting sumber]

Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh organ lain di dalam tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-dimensional, hati menjadi sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati akan merespon berbagai penyakit tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis
Seringkali hepatitis dimulai dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut fibrosis hati,[39] dengan simtoma paraklinis berupa peningkatan rasio plasma laminin, sebuah glikoprotein yang disekresi sel Itoasam hialuronat dan sejenis aminopeptida yaitu prokolagen tipe III,[40] dan CEA.[41] Fibrosis hati dapat disebabkan oleh rendahnya rasio plasma HGF,[42][43] atau karena infeksi viral, seperti hepatitis B, patogen yang disebabkan oleh infeksi akut sejenis virus DNA yang memiliki fokus infeksi berupa templat transkripsi yang disebut cccDNA yang termetilasi,[44] atau hepatitis C, patogen serupa hepatitis B yang disebabkan oleh infeksi virus RNA dengan fokus infeksi berupa metilasi DNA, terutama melalui mekanisme ekspresi genetik berkas GADD45B, sehingga mengakibatkan siklus sel hepatosit menjadi tersendat-sendat.[45][46]
Fibrosis hati memerlukan penangan sedini mungkin, seperti pada model tikus, stimulasi proliferasi hepatosit akan meluruhkan fokus infeksi virus hepatitis B,[47] sebelum berkembang menjadi sirosis hati atau karsinoma hepatoselular. Setelah terjadi kanker hati, senyawa siklosporina yang memiliki potensi untuk memicu proliferasi hepatosit, justru akan mempercepat perkembangan sel kanker,[48] oleh karena sel kanker mengalami hiperplasia hepatik, yaitu proliferasi yang tidak disertai aktivasi faktor transkripsi genetik. Hal ini dapat diinduksi dengan stimulasi timbal nitrat (LN, 100 mikromol/kg), siproteron asetat (CPA, 60 mg/kg), dan nafenopin(NAF, 200 mg/kg).[49]
Hepatitis juga dapat dimulai dengan defisiensi mitokondria di dalam hepatosit, yang disebut steatohepatitis. Disfungsi mitokondria akan berdampak pada homeostasis senyawa lipid dan peningkatan rasio spesi oksigen reaktif yang menginduksi TNF-α.[50] Hal ini akan berlanjut pada pengendapan lemakstres oksidatif dan peroksidasi lipid,[51] serta membuat mitokondria menjadi rentan terhadap kematian oleh nekrosis akibat rendahnya rasio ATP dalam matrik mitokondria, atau oleh apoptosis melalui pembentukan apoptosom dan peningkatan permeabilitas membran mitokondria dengan mekanisme Fas/TNF-α. Permintaan energi yang tinggi pada kondisi ini menyebabkan mitokondria tidak dapat memulihkan cadangan ATP hingga dapat memicu sirosis hati,[51] sedangkan peroksidasi lipid akan menyebabkan kerusakan pada DNA mitokondria dan membran mitokondria sisi dalam yang disebut sardiolipin, dengan peningkatan laju oksidasi-beta asam lemak, akan terjadi akumulasi elektron pada respiratory chain kompleks I dan III yang menurunkan kadar antioksidan.[50]
Sel hepatosit apoptotik akan dicerna oleh sel Ito menjadi fibrinogen dengan reaksi fibrogenesis setelah diaktivasi oleh produk dari peroksidasi lipid dan rasio leptin yang tinggi. Apoptosis kronis kemudian dikompensasi dengan peningkatan laju proliferasi hepatosit, disertai DNA yang rusak oleh disfungsi mitokondria, dan menyebabkan mutasi genetik dan kanker.
Pada model tikusmelatonin merupakan senyawa yang menurunkan fibrosis hati,[52] sedang pada model kelincikurkumin merupakan senyawa organik yang menurunkan paraklinis steatohepatitis,[53] sedang hormonserotonin[54] dan kurangnya asupan metionina dan kolina[55] memberikan efek sebaliknya dengan resistansi adiponektin.[56]
Disfungsi mitokondria juga ditemukan pada seluruh patogenesis hati, dari kasus radang hingga kanker dan transplantasi.[57] Pada kolestasis kronik, asam ursodeoksikolat bersama dengan GSH bersinergis sebagai antioksidan yang melindungi sardiolipin dan fosfatidil serina hingga mencegah terjadinya sirosis hati.[58]

Pengaruh alkohol[sunting | sunting sumber]

Alkohol dikenal memiliki fungsi immunosupresif terhadap sistem kekebalan tubuh, termasuk meredam ekspresi kluster diferensiasi CD4+ dan CD8+ yang diperlukan dalam pertahanan hati terhadap infeksi viral, terutama HCV.[59] Alkohol juga meredam rasio kemokina IFN pada lintasan transduksi sinyal seluler, selain meningkatkan risiko terjadinya fibrosis.[60]
Banyak lintasan metabolisme memberikan kontribusi terhadap alkohol untuk menginduksi stres oksidatif.[61] Salah satu lintasan metabolisme yang sering diaktivasi oleh etanol adalah induksi enzim sitokrom P450 2E1. Enzim ini menimbulkan spesi oksigen reaktif seperti radikal anion superoksida dan hidrogen peroksida, serta mengaktivasi subtrat toksik termasuk etanol menjadi produk yang lebih reaktif dan toksik. Sel dendritiktampaknya merupakan sel yang paling terpengaruh oleh kandungan etanol di dalam alkohol. Pada percobaan menggunakan model tikus, etanol meningkatkan rasio plasma IL-1βIL-6IL-8TNF-αASTALTADHγ-GTTGMDA dan meredam rasio IL-10GSH,[62] faktor transkripsi NF-κB dan AP-1.[63]

Pengaruh alkaloid[sunting | sunting sumber]

Kopi, salah satu kompleks senyawa alkaloid dari golongan purina xantina dengan asam klorogenat dan lignan,[64] pada studi epidemiologis, disimpulkan sebagai salah satu faktor penurun risiko terjadinya diabetes mellitus tipe 2,[65][66] penyakit Parkinsonsirosis hati dan karsinoma hepatoselular,[67] dan perbaikan toleransi glukosa.[64] Konsumsi kopi secara kronis terbukti tidak menyebabkan tekanan darah tinggi namun secara akut mengakibatkan peningkatan tekanan darah sementara dalam selang waktu singkat,[68] dan plasma homosisteina[67] sehingga dapat menjadi ancaman bagi penderita gangguan kardiovaskular.[65]
Konsumsi kopi secara teratur dapat menurunkan rasio enzim ALT serta aktifitas enzimatik pada lintasan metabolisme hati,[69] yang sering disebabkan oleh[70] infeksi viral, induksi obat-obatan, keracunan, kondisi iskemik, steatosis (akibat alkohol, diabetes, obesitas), penyakit otoimun,[71] dan resistansi insulin, sindrom metabolisme,[72] dan kelebihan zat besi.[73] Selain ALT, kopi juga menurunkan enzim hati yang lain, yaitu gamma-GT dan alkalina fosfatase.[74] dan memberikan efek antioksidan dan detoksifikasi fase II oleh karena senyawa diterpenakafestol dan kahweol,[75] sehingga mencegah terjadinya proses karsinogenesis.[76][77]Proses tersebut disertai dengan gamma-GT sebagai indikator utama.[78]

Pengaruh kegemukan, trigeliserida tinggi dan diabetes[sunting | sunting sumber]

Kegemukantrigliserida tinggi (hipertrigliseridemia) dan diabetes dapat menyebabkan pelemakan hati dan kalau dibiarkan akan menjadi sirosis hati. 10-15 orang dari 100 orang dengan pelemakan hati dapat menderita sirosis, sedangkan 30 orang dari 100 orang dengan peradangan hati kronis akibat virus (biasanya Hepatitis B) dapat menderita sirosis. Pelemakan hati dapat diperiksa di laboratorium klinik menggunakan tes bio kimia atau secara visual menggunakan USG.[79]

sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Hati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar